Pancasila Jangan Jadi Teori Utopia
Tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara resmi ditetapkan pada 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan lahirnya Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Karenanya, penting disadari ketika memperingati Pancasila perhatian bukan pada ritual peringatan. Namun semestinya pada komitmen menjadikan nilai dasar Pancasila itu melalui pelaksanaan kelima silanya agar teraktualisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata.
Jika Soekarno menyebutkan Pancasila sebagai “philosopische grondslag” (dasar filosofis) atau “Weltanschauung” (pandangan dunia), maka Dasar Negara tersebut harus menjadi pondasi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara secara struktural. Artinya, betul-betul dijadikan nilai penting yang menjiwai dan sekaligus pemikiran mendasar dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan bernegara.
Pertanyaannya, apakah kehidupan berbangsa dan bernegara sejak Indonesia merdeka sampai saat ini telah mencerminkan dan merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila?
Dari sila pertama, apakah bangsa Indonesia benar-benar menjalani kehidupan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai keyakinan ketuhanan itu dikembalikan pada agama masing-masing yang dianut warga bangsa, sehingga tidak menjadi bangsa yang anti agama (agnostik), anti tuhan (ateis), dan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan.
Bernegara pun niscaya mengindahkan nilai atau ajaran agama, karena dalam pasal 29 UUD 1945 agama diakui keberadaannya oleh konstitusi, bahkan menurut Soekarno Negara Indonesia itu sendiri harus “bertuhan”.
Indonesia bukan negara agama, tetapi jangan bawa Indonesia menjadi negara sekuler yang menjauhi, menegasikan, dan memusuhi agama. Para penyelenggara dan pejabat negara wajib beragama dan menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya.
Dalam mengurus negara harus takut kepada Tuhan antara lain untuk tidak korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan dalam bentuk apapun, serta tidak sekehendaknya dalam mengurus negara dan berbangsa.
Negara dan pejabat maupun elite negeri harus bersendikan pada nilai kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai kemanusiaan, keadilan,dan keadaban mesti dijunjung tinggi, ditegakkan, serta dipraktikkan dalam berbangsa dan bernegara.
Jangan demi mengejar segala kepentingan melanggar nilai kemanusiaan, keadilan, dan keadaban. Termasuk beretika luhur dalam berbangsa dan bernegara. Warga bangsa bahkan disurvei termasuk yang tingkat digility atau kesopanannya rendah dalam bermedia sosia.
Sila Persatuan Indonesia juga harus diwujudkan dalam kehidupan nyata berbangsa bernegara, jangan jadi slogan semata tentang Bhineka Tunggal Ika. Persatuan hanya diperlukan ketika sejalan dengan dan mendukung kepentingan serta golongan sendiri.
Manakala menyangkut urusan dan kepentingan sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, partai sendiri, dan hal-hal sempit atau ego sendiri kemudian mengorbankan pihak lain sesama komponen bangsa.
Pihak yang mendukung dirangkul dan dimanjakan dengan segala keistimewaan, sebaliknya yang kritis atau tidak mendukung dipukul dan disisihkan atau dipinggirkan.
Persatuan Indonesia diuji ketika masing-masing pihak memiliki kepentingannya sendiri, apakah bersedia berbagi dan peduli? Jangan sampai praktik siapa kuat siapa menang serta siapa mendapatkan dalam bernegara karena sejatinya mengoyak nilai persatuan Indonesia.
Sila keempat sama pentingnya dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam berpolitik dan berdemokrasi. Bagaimana nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Menurut sejumlah ahli dan praktik di kehidupan nyata, politik dan demokrasi Indonesia sudah sangat liberal.
Para aktor baik institusi maupun elitenya terbiasa pragmatis dan oportunistik, demi meraih dan mewujudkan kepentingannya apa saja dihalalkan, termasuk mengakali konstitusi dan peraturan. Hukum pun disalahgunakan dan disiasati demi kepentingan politik sesaat.
Warga bangsa pun terbiasa pragmatis dan oportunistik. Karenanya politik dan demokrasi Indonesia kehilangan jiwa hikmah-kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan.
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia lebih terlantar. Pihak yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan akses dalam negara makin menguasai Indonesia. Sementara mayoritas rakyat yang lemah makin terlemahkan.
Kesenjangan sosial dan kemiskinan masih menjadi realitas di negeri ini. Sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi makin menjerat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Republik ini.
Padahal menurut Bung Karno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.
Sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk hajat hidup orang banyak, demi keadilan dan kemakmuran bersama seluruh rakyat Indonesia.
Karenanya, Pancasila jangan terus dislogankan, diteriakkan, disimbolisasikan, dan apalagi dikeramatkan dengan gempita. Pancasila tidak untuk disakralkan dan diglorifikasi dengan paham puritan dan fanatik buta, yang melahirkan pandangan ultranasionalisme, tanpa perwujudan di dunia nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbagai slogan, retorika, dan jargon menawan tentang Pancasila juga akan kehilangan sukma jika tidak disertai komitmen sistem dan manusianya untuk mewujudkan kelima sila Pancasila dalam berbangsa-bernegara.
Jangan biarkan Pancasila jadi retorika dan teori utopia yang mengawang di angkasa, namun kehilangan pijakan dan bukti nyata di bumi Indonesia. Apalagi Pancasila sekadar jadi kemegahan simbol tanpa makna.
Untuk menjadikan Pancasila terwujud nyata dalam ber-Indonesia, yakni: Berketuhanan Yang Maha Esa; Berperikemanusiaan yang adil dan beradab; Ber-persatuan Indonesia; Ber-kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; serta Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, dan institusi pemerintahan maupun komponen bangsa lainnya wajib hukumnya ber-Pancasila dalam kehidupan nyata. Itulah Pancasila kata kerja, bukan Pancasila kata benda. Pancasila yang akan menjadikan Indonesia jaya menuju cita-cita yang ditorehkan para pendiri negara!
Karenanya, penting disadari ketika memperingati Pancasila perhatian bukan pada ritual peringatan. Namun semestinya pada komitmen menjadikan nilai dasar Pancasila itu melalui pelaksanaan kelima silanya agar teraktualisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara nyata.
Jika Soekarno menyebutkan Pancasila sebagai “philosopische grondslag” (dasar filosofis) atau “Weltanschauung” (pandangan dunia), maka Dasar Negara tersebut harus menjadi pondasi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara secara struktural. Artinya, betul-betul dijadikan nilai penting yang menjiwai dan sekaligus pemikiran mendasar dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan bernegara.
Pertanyaannya, apakah kehidupan berbangsa dan bernegara sejak Indonesia merdeka sampai saat ini telah mencerminkan dan merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila?
Dari sila pertama, apakah bangsa Indonesia benar-benar menjalani kehidupan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nilai keyakinan ketuhanan itu dikembalikan pada agama masing-masing yang dianut warga bangsa, sehingga tidak menjadi bangsa yang anti agama (agnostik), anti tuhan (ateis), dan sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan.
Bernegara pun niscaya mengindahkan nilai atau ajaran agama, karena dalam pasal 29 UUD 1945 agama diakui keberadaannya oleh konstitusi, bahkan menurut Soekarno Negara Indonesia itu sendiri harus “bertuhan”.
Indonesia bukan negara agama, tetapi jangan bawa Indonesia menjadi negara sekuler yang menjauhi, menegasikan, dan memusuhi agama. Para penyelenggara dan pejabat negara wajib beragama dan menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya.
Dalam mengurus negara harus takut kepada Tuhan antara lain untuk tidak korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan dalam bentuk apapun, serta tidak sekehendaknya dalam mengurus negara dan berbangsa.
Negara dan pejabat maupun elite negeri harus bersendikan pada nilai kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai kemanusiaan, keadilan,dan keadaban mesti dijunjung tinggi, ditegakkan, serta dipraktikkan dalam berbangsa dan bernegara.
Jangan demi mengejar segala kepentingan melanggar nilai kemanusiaan, keadilan, dan keadaban. Termasuk beretika luhur dalam berbangsa dan bernegara. Warga bangsa bahkan disurvei termasuk yang tingkat digility atau kesopanannya rendah dalam bermedia sosia.
Sila Persatuan Indonesia juga harus diwujudkan dalam kehidupan nyata berbangsa bernegara, jangan jadi slogan semata tentang Bhineka Tunggal Ika. Persatuan hanya diperlukan ketika sejalan dengan dan mendukung kepentingan serta golongan sendiri.
Manakala menyangkut urusan dan kepentingan sendiri, keluarga sendiri, kelompok sendiri, partai sendiri, dan hal-hal sempit atau ego sendiri kemudian mengorbankan pihak lain sesama komponen bangsa.
Pihak yang mendukung dirangkul dan dimanjakan dengan segala keistimewaan, sebaliknya yang kritis atau tidak mendukung dipukul dan disisihkan atau dipinggirkan.
Persatuan Indonesia diuji ketika masing-masing pihak memiliki kepentingannya sendiri, apakah bersedia berbagi dan peduli? Jangan sampai praktik siapa kuat siapa menang serta siapa mendapatkan dalam bernegara karena sejatinya mengoyak nilai persatuan Indonesia.
Sila keempat sama pentingnya dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam berpolitik dan berdemokrasi. Bagaimana nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau perwakilan. Menurut sejumlah ahli dan praktik di kehidupan nyata, politik dan demokrasi Indonesia sudah sangat liberal.
Para aktor baik institusi maupun elitenya terbiasa pragmatis dan oportunistik, demi meraih dan mewujudkan kepentingannya apa saja dihalalkan, termasuk mengakali konstitusi dan peraturan. Hukum pun disalahgunakan dan disiasati demi kepentingan politik sesaat.
Warga bangsa pun terbiasa pragmatis dan oportunistik. Karenanya politik dan demokrasi Indonesia kehilangan jiwa hikmah-kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan.
Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia lebih terlantar. Pihak yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan akses dalam negara makin menguasai Indonesia. Sementara mayoritas rakyat yang lemah makin terlemahkan.
Kesenjangan sosial dan kemiskinan masih menjadi realitas di negeri ini. Sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi makin menjerat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Republik ini.
Padahal menurut Bung Karno, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”.
Sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk hajat hidup orang banyak, demi keadilan dan kemakmuran bersama seluruh rakyat Indonesia.
Karenanya, Pancasila jangan terus dislogankan, diteriakkan, disimbolisasikan, dan apalagi dikeramatkan dengan gempita. Pancasila tidak untuk disakralkan dan diglorifikasi dengan paham puritan dan fanatik buta, yang melahirkan pandangan ultranasionalisme, tanpa perwujudan di dunia nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbagai slogan, retorika, dan jargon menawan tentang Pancasila juga akan kehilangan sukma jika tidak disertai komitmen sistem dan manusianya untuk mewujudkan kelima sila Pancasila dalam berbangsa-bernegara.
Jangan biarkan Pancasila jadi retorika dan teori utopia yang mengawang di angkasa, namun kehilangan pijakan dan bukti nyata di bumi Indonesia. Apalagi Pancasila sekadar jadi kemegahan simbol tanpa makna.
Untuk menjadikan Pancasila terwujud nyata dalam ber-Indonesia, yakni: Berketuhanan Yang Maha Esa; Berperikemanusiaan yang adil dan beradab; Ber-persatuan Indonesia; Ber-kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; serta Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Seluruh pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, dan institusi pemerintahan maupun komponen bangsa lainnya wajib hukumnya ber-Pancasila dalam kehidupan nyata. Itulah Pancasila kata kerja, bukan Pancasila kata benda. Pancasila yang akan menjadikan Indonesia jaya menuju cita-cita yang ditorehkan para pendiri negara!
__________
Penulis: Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si.
Ketua Umum PP Muhammadiyah; Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
Ketua Umum PP Muhammadiyah; Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
No comments
Silakan beri komentar