PPPK, Migrasi Guru, dan Nasib Sekolah Swasta
Program rekrutmen guru mulai tingkat pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi melalui jalur pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) menyisakan banyak persoalan.
Sistem seleksi guru berstatus PPPK yang dimulai pada 2021 itu pun terus menuai protes dari penyelenggara lembaga pendidikan swasta. Protes tersebut disebabkan puluhan ribu guru terbaik dari sekolah swasta bermigrasi ke sekolah negeri setelah lolos seleksi PPPK.
Sistem seleksi guru berstatus PPPK yang dimulai pada 2021 itu pun terus menuai protes dari penyelenggara lembaga pendidikan swasta. Protes tersebut disebabkan puluhan ribu guru terbaik dari sekolah swasta bermigrasi ke sekolah negeri setelah lolos seleksi PPPK.
Bagi guru-guru swasta yang lolos seleksi PPPK, kesuksesan itu menjadi kebahagiaan tak terhingga. Mereka tidak lagi menjadi guru tidak tetap atau guru tetap di lembaga pendidikan swasta.
Mereka beralih status menjadi aparatur sipil negara (ASN). Terbayang dalam pikiran mereka akan memperoleh kesejahteraan lebih baik daripada sebelumnya. Sebab, mereka berkesempatan untuk memperoleh gaji dan fasilitas lebih baik daripada di sekolah swasta.
Mereka juga berkesempatan untuk mengabdi di sekolah negeri yang dipersepsi lebih menjamin karier dan masa depannya.
Kebahagiaan guru-guru swasta yang lolos PPPK itu berbanding terbalik dengan perasaan penyelenggara lembaga pendidikan swasta. Sekolah swasta yang diselenggarakan berbagai komunitas masyarakat pasti merasa sangat kehilangan.
Apalagi, guru-guru swasta yang migrasi ke sekolah negeri merupakan pendidik yang ”sudah jadi” dengan pengabdian lama. Sebagian dari mereka bahkan menjadi "ikon" sekolah. Mereka merupakan pendidik terbaik dan memegang posisi penting di lembaga pendidikan swasta.
Dengan kompetensi seperti itu, keberadaan mereka jelas sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan pembelajaran peserta didik di sekolah swasta. Namun, semua itu berubah seiring adanya kesempatan rekrutmen guru melalui jalur PPPK yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Mereka beralih status menjadi aparatur sipil negara (ASN). Terbayang dalam pikiran mereka akan memperoleh kesejahteraan lebih baik daripada sebelumnya. Sebab, mereka berkesempatan untuk memperoleh gaji dan fasilitas lebih baik daripada di sekolah swasta.
Mereka juga berkesempatan untuk mengabdi di sekolah negeri yang dipersepsi lebih menjamin karier dan masa depannya.
Kebahagiaan guru-guru swasta yang lolos PPPK itu berbanding terbalik dengan perasaan penyelenggara lembaga pendidikan swasta. Sekolah swasta yang diselenggarakan berbagai komunitas masyarakat pasti merasa sangat kehilangan.
Apalagi, guru-guru swasta yang migrasi ke sekolah negeri merupakan pendidik yang ”sudah jadi” dengan pengabdian lama. Sebagian dari mereka bahkan menjadi "ikon" sekolah. Mereka merupakan pendidik terbaik dan memegang posisi penting di lembaga pendidikan swasta.
Dengan kompetensi seperti itu, keberadaan mereka jelas sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan pembelajaran peserta didik di sekolah swasta. Namun, semua itu berubah seiring adanya kesempatan rekrutmen guru melalui jalur PPPK yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Apalagi, peluang itu dibuka seluas- luasnya bagi guru-guru non-PNS di sekolah swasta. Mereka yang berstatus guru tetap yayasan di sekolah swasta pun berbondong-bondong mengikuti seleksi PPPK.
Penyelenggara sekolah swasta jelas tidak mampu berbuat banyak. Apalagi, saat mendaftar seleksi PPPK, guru-guru itu tidak meminta izin terlebih dahulu. Mereka baru memberi tahu setelah lolos seleksi PPPK. Maka, dapat dibayangkan persoalan yang dihadapi sekolah swasta. Sebab, memang tidak mudah memperoleh guru pengganti dengan kualitas yang sebanding.
Apalagi, jika guru-guru yang keluar itu pengampu mata pelajaran dengan keahlian khusus. Ironisnya, di sekolah swasta tertentu jumlah guru yang lolos seleksi PPPK mencapai puluhan. Bahkan, ada juga kepala sekolah dan wakil kepala sekolah swasta yang migrasi ke sekolah negeri karena lolos seleksi PPPK.
Evaluasi Pola Rekrutmen
Pola rekrutmen terbuka dalam program PPPK sangat disesalkan penyelenggara pendidikan swasta.
Karena itulah, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Perguruan Taman Siswa, Majelis Nasional Pendidikan Katolik, dan Majelis Pendidikan Kristen sudah berulang kali melayangkan protes sekaligus mengadukan kegaduhan seleksi PPPK ke DPR RI.
Mereka berharap agar pemerintah melalui Kemendikbudristek lebih berempati kepada sekolah swasta.
Protes sejumlah ormas itu dapat dipahami karena fenomena migrasi guru swasta secara besar-besaran ke sekolah negeri pada saatnya akan membahayakan posisi sekolah swasta. Kualitas layanan pembelajaran pada peserta didik pasti terganggu.
Hal itu karena memang tidak mudah mendapatkan guru berkualitas seperti mereka yang migrasi ke sekolah negeri. Kondisi tersebut mengharuskan penyelenggara sekolah swasta membina guru-guru baru dari awal.
Padahal, untuk mendapatkan guru-guru yang berkualitas, pasti dibutuhkan waktu. Juga, dibutuhkan berkali-kali pelatihan dan pendampingan hingga mereka menjadi guru yang berkompeten dan berketerampilan mumpuni.
Bukan hanya soal kompetensi dan keterampilan, guru-guru yang mengabdi di sekolah swasta juga memperoleh pembinaan mengenai arti pentingnya pengabdian. Nilai-nilai pengabdian sangat diutamakan di sekolah swasta.
Selalu ditanamkan dalam keyakinan mereka bahwa menjadi pendidik di sekolah swasta bukan sekadar bekerja. Apalagi, hanya untuk memperoleh gaji (ujrah). Lebih dari itu, setiap langkah dan napas para guru adalah pengabdian.
Pengabdian itu jelas berdimensi ibadah. Dengan begitu, menjadi guru di sekolah swasta itu di samping memperoleh gaji, yang jauh lebih penting adalah meraih pahala atau ganjaran (ajrun).
Dimensi pengabdian itulah yang menjadikan guru-guru swasta terus mendidik dan mengasuh peserta didik dengan sepenuh hati. Meski begitu, ternyata tidak mudah mempertahankan guru-guru untuk tetap berkhidmat di sekolah swasta.
Penyelenggara sekolah swasta jelas tidak mampu berbuat banyak. Apalagi, saat mendaftar seleksi PPPK, guru-guru itu tidak meminta izin terlebih dahulu. Mereka baru memberi tahu setelah lolos seleksi PPPK. Maka, dapat dibayangkan persoalan yang dihadapi sekolah swasta. Sebab, memang tidak mudah memperoleh guru pengganti dengan kualitas yang sebanding.
Apalagi, jika guru-guru yang keluar itu pengampu mata pelajaran dengan keahlian khusus. Ironisnya, di sekolah swasta tertentu jumlah guru yang lolos seleksi PPPK mencapai puluhan. Bahkan, ada juga kepala sekolah dan wakil kepala sekolah swasta yang migrasi ke sekolah negeri karena lolos seleksi PPPK.
Evaluasi Pola Rekrutmen
Pola rekrutmen terbuka dalam program PPPK sangat disesalkan penyelenggara pendidikan swasta.
Karena itulah, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Perguruan Taman Siswa, Majelis Nasional Pendidikan Katolik, dan Majelis Pendidikan Kristen sudah berulang kali melayangkan protes sekaligus mengadukan kegaduhan seleksi PPPK ke DPR RI.
Mereka berharap agar pemerintah melalui Kemendikbudristek lebih berempati kepada sekolah swasta.
Protes sejumlah ormas itu dapat dipahami karena fenomena migrasi guru swasta secara besar-besaran ke sekolah negeri pada saatnya akan membahayakan posisi sekolah swasta. Kualitas layanan pembelajaran pada peserta didik pasti terganggu.
Hal itu karena memang tidak mudah mendapatkan guru berkualitas seperti mereka yang migrasi ke sekolah negeri. Kondisi tersebut mengharuskan penyelenggara sekolah swasta membina guru-guru baru dari awal.
Padahal, untuk mendapatkan guru-guru yang berkualitas, pasti dibutuhkan waktu. Juga, dibutuhkan berkali-kali pelatihan dan pendampingan hingga mereka menjadi guru yang berkompeten dan berketerampilan mumpuni.
Bukan hanya soal kompetensi dan keterampilan, guru-guru yang mengabdi di sekolah swasta juga memperoleh pembinaan mengenai arti pentingnya pengabdian. Nilai-nilai pengabdian sangat diutamakan di sekolah swasta.
Selalu ditanamkan dalam keyakinan mereka bahwa menjadi pendidik di sekolah swasta bukan sekadar bekerja. Apalagi, hanya untuk memperoleh gaji (ujrah). Lebih dari itu, setiap langkah dan napas para guru adalah pengabdian.
Pengabdian itu jelas berdimensi ibadah. Dengan begitu, menjadi guru di sekolah swasta itu di samping memperoleh gaji, yang jauh lebih penting adalah meraih pahala atau ganjaran (ajrun).
Dimensi pengabdian itulah yang menjadikan guru-guru swasta terus mendidik dan mengasuh peserta didik dengan sepenuh hati. Meski begitu, ternyata tidak mudah mempertahankan guru-guru untuk tetap berkhidmat di sekolah swasta.
Apalagi, jika hanya mengandalkan pengabdian tanpa disertai perbaikan kesejahteraan. Pergeseran komitmen guru-guru tersebut tentu sangat manusiawi. Sebab, mereka juga menghadapi problem kehidupan yang riil.
Kondisi ekonomi guru-guru yang belum memadai jelas menjadi persoalan tersendiri. Apalagi, kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak terus meningkat.
Rasanya bukan rahasia lagi jika dikatakan bahwa kesejahteraan guru di sekolah swasta tergolong masih banyak yang tidak menentu. Persoalan itu terutama terjadi di lembaga pendidikan swasta berkategori menengah ke bawah.
Sekolah yang umumnya berkategori kecil pasti akan sangat sulit menahan guru-guru terbaiknya dari godaan mengikuti seleksi PPPK. Mereka ingin memperbaiki kehidupan dengan beralih menjadi guru berstatus PPPK. Mereka pun migrasi dari sekolah swasta yang telah membentuknya sebagai pendidik sejati.
Padahal, sejujurnya, kontribusi sekolah swasta terhadap peningkatan kapasitas guru-guru yang mengikuti seleksi PPPK itu sangat besar. Dengan berstatus guru bersertifikasi dan berkapasitas mumpuni, tentu tidak sulit bagi mereka untuk lolos seleksi PPPK.
Karena itulah, dapat dipahami jika berbagai ormas keagamaan penyelenggara pendidikan swasta terus menyoal pola rekrutmen dan penempatan guru berstatus PPPK. Penyelenggara pendidikan swasta umumnya merasa tidak memperoleh apresiasi dari pemerintah.
Penyelenggara pendidikan swasta harus kehilangan puluhan ribu guru terbaiknya yang migrasi ke sekolah negeri. Padahal, sumbangsih penyelenggara Pendidikan swasta untuk mencerdaskan anak-anak bangsa sungguh luar biasa.
Tidak terbayangkan bagaimana jika amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itu dilakukan sendiri oleh pemerintah. Jika tantangan tersebut diberikan, dapat dipastikan pemerintah tidak akan mampu menunaikan tugas mulia itu sendirian.
Berempati ke Sekolah Swasta
Pertanyaannya, kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk mengurai persoalan migrasi puluhan ribu guru sekolah swasta ke sekolah negeri sebagai akibat dari program PPPK? Pada konteks inilah pemerintah penting membuat terobosan kebijakan yang lebih berempati kepada lembaga pendidikan swasta.
Kondisi ekonomi guru-guru yang belum memadai jelas menjadi persoalan tersendiri. Apalagi, kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak terus meningkat.
Rasanya bukan rahasia lagi jika dikatakan bahwa kesejahteraan guru di sekolah swasta tergolong masih banyak yang tidak menentu. Persoalan itu terutama terjadi di lembaga pendidikan swasta berkategori menengah ke bawah.
Sekolah yang umumnya berkategori kecil pasti akan sangat sulit menahan guru-guru terbaiknya dari godaan mengikuti seleksi PPPK. Mereka ingin memperbaiki kehidupan dengan beralih menjadi guru berstatus PPPK. Mereka pun migrasi dari sekolah swasta yang telah membentuknya sebagai pendidik sejati.
Padahal, sejujurnya, kontribusi sekolah swasta terhadap peningkatan kapasitas guru-guru yang mengikuti seleksi PPPK itu sangat besar. Dengan berstatus guru bersertifikasi dan berkapasitas mumpuni, tentu tidak sulit bagi mereka untuk lolos seleksi PPPK.
Karena itulah, dapat dipahami jika berbagai ormas keagamaan penyelenggara pendidikan swasta terus menyoal pola rekrutmen dan penempatan guru berstatus PPPK. Penyelenggara pendidikan swasta umumnya merasa tidak memperoleh apresiasi dari pemerintah.
Penyelenggara pendidikan swasta harus kehilangan puluhan ribu guru terbaiknya yang migrasi ke sekolah negeri. Padahal, sumbangsih penyelenggara Pendidikan swasta untuk mencerdaskan anak-anak bangsa sungguh luar biasa.
Tidak terbayangkan bagaimana jika amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itu dilakukan sendiri oleh pemerintah. Jika tantangan tersebut diberikan, dapat dipastikan pemerintah tidak akan mampu menunaikan tugas mulia itu sendirian.
Berempati ke Sekolah Swasta
Pertanyaannya, kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk mengurai persoalan migrasi puluhan ribu guru sekolah swasta ke sekolah negeri sebagai akibat dari program PPPK? Pada konteks inilah pemerintah penting membuat terobosan kebijakan yang lebih berempati kepada lembaga pendidikan swasta.
Caranya adalah menugaskan guru- guru swasta hasil seleksi PPPK ke sekolah asal. Kebijakan itu penting untuk mencegah kegaduhan yang berkelanjutan sekaligus mengafirmasi lembaga pendidikan swasta.
Sejatinya, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pasal 1 ayat 2, ditegaskan bahwa guru ASN ditugaskan ”dalam suatu jabatan pemerintahan atau tugas negara lainnya”.
Diktum yang berbunyi ”tugas negara lainnya” itu dapat menjadi payung hukum untuk menugaskan guru ASN berstatus PPPK di sekolah swasta. Kebijakan itu penting diambil karena pemerintah seharusnya memosisikan pendidikan swasta sebagai mitra strategis dalam menunaikan amanah konstitusi.
Apalagi, realitasnya di sejumlah daerah terpencil berkategori 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), kehadiran lembaga pendidikan swasta sering kali lebih awal daripada sekolah negeri. Karena itulah, kemitraan pemerintah dengan berbagai komunitas penyelenggara pendidikan swasta penting dirawat.
Pada konteks itulah Kemendibudristek dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) penting mengambil langkah strategis untuk menghentikan migrasi guru sekolah swasta ke sekolah negeri. Rasanya tidak ada yang sulit jika political will pemerintah masih berpihak kepada sekolah swasta.
Sejatinya, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pasal 1 ayat 2, ditegaskan bahwa guru ASN ditugaskan ”dalam suatu jabatan pemerintahan atau tugas negara lainnya”.
Diktum yang berbunyi ”tugas negara lainnya” itu dapat menjadi payung hukum untuk menugaskan guru ASN berstatus PPPK di sekolah swasta. Kebijakan itu penting diambil karena pemerintah seharusnya memosisikan pendidikan swasta sebagai mitra strategis dalam menunaikan amanah konstitusi.
Apalagi, realitasnya di sejumlah daerah terpencil berkategori 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), kehadiran lembaga pendidikan swasta sering kali lebih awal daripada sekolah negeri. Karena itulah, kemitraan pemerintah dengan berbagai komunitas penyelenggara pendidikan swasta penting dirawat.
Pada konteks itulah Kemendibudristek dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) penting mengambil langkah strategis untuk menghentikan migrasi guru sekolah swasta ke sekolah negeri. Rasanya tidak ada yang sulit jika political will pemerintah masih berpihak kepada sekolah swasta.
_______________
Penulis: Prof. Dr. Biyanto, M.Ag.
Penulis: Prof. Dr. Biyanto, M.Ag.
Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim dan Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya
Tulisan ini sudah pernah diterbitkan dengan judul yang sama di Harian Disway pada Jumat (7/6/2024) dan Maklumat.id pada Sabtu (8/6/2024)
Tulisan ini sudah pernah diterbitkan dengan judul yang sama di Harian Disway pada Jumat (7/6/2024) dan Maklumat.id pada Sabtu (8/6/2024)
No comments
Silakan beri komentar